Rabu, 29 Mei 2013

Info Sehat


KerupUk....ringan...tapi bisa berat....
Kerupuk Kulit

Kerupuk kulit memang sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari lidah konsumen orang Indonesia. Penggemarnya sangat banyak, yang berasal dari berbagai kalangan. Kerupuk yang gurih dan renyah inipun cocok dipasangkan dengan makanan apa saja. Ia bisa menemani soto, baso, nasi padang, bubur ayam, dan berbagai jenis masakan lainnya. Bahkan dimakan sendirian pun enak juga.
Konsumsi kerupuk kulit di Indonesia sangatlah besar. Anda akan dengan mudah mendapatkannya di berbagai warung dan restoran. Memang secara statistik belum didapatkan angka pasti mengenai jumlah kuantitatif konsumsi kerupuk kulit di Indonesia. Tetapi melihat animo masyarakat yang begitu besar dan keberadaannya yang tersebar luas, kita pantas menduga bahwa konsumsi kerupuk ini sangat besar.
Besarnya permintaan kerupuk kulit ini tentunya mendatangkan hikmah bagi industri kecil yang bergerak di bidang tersebut. Tetapi dari hasil pantauan kami terhadap beberapa industri kecil kerupuk kulit di Sidoarjo dan Jember, Jawa Timur, justru menunjukkan fakta yang sebaliknya.
Beberapa industri yang skalanya masih industri rumah tangga (IRT) itu mengeluh tidak dapat berproduksi secara kontinyu. Beberapa IRT tersebut mengaku sulit mendapatkan bahan baku kulit yang dibutuhkannya. Kalaupun ada harganya sudah melambung sangat tinggi, karena minimnya pasokan dan banyaknya permintaan. Kesulitan bahan baku ini bahkan telah memaksa beberapa penghasil kerupuk kulit di Jember terpaksa harus menghentikan produksinya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, produksi peternakan sapi lokal kita memang mengalami stagnansi. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, maka daging impor pun didatangkan dari negara-negara Australia, Selandia Baru, dan Amerika. Daging tersebut didatangkan dalam bentuk daging beku tanpa tulang dan tanpa kulit. Sedangkan kulit lokal yang bagus, selain untuk keperluan pangan, juga digunakan untuk kerajinan kulit, seperti sepatu, tas, dan jaket. Oleh karena itu wajar jika kulit untuk keperluan kerupuk menjadi langka dan sulit didapatkan.
Lalu pertanyaannya, kerupuk kulit yang beredar dan banyak dikonsumsi masyarakat itu berasal dari mana?Sebagaimana angka konsumsi, data produksi kerupuk kulit ini juga sulit didapatkan. Apalagi kebanyakan industri yang membuatnya adalah industri kecil atau industri rumah tangga yang sulit dipantau keberadaannya. Dari hasil penelusuran informasi kepada para pengusaha kerupuk kulit didapatkan fakta bahwa beberapa industri kerupuk kulit tersebut menggunakan bahan baku kulit impor.
Kulit sapi impor itu konon didatangkan dari Korea dan Cina, meskipun data secara pastinya belum didapatkan. Untuk mendapatkan bahan baku tersebut, para pengusaha kerupuk tidak mampu mengimpor sendiri. Mereka mendapatkan dari para pemasok dan pedagang besar yang mampu mengimpor secara langsung dari luar negeri. Perdagangan kulit impor ini terjadi secara sembunyi-sembunyi, tidak bisa dilakukan di pasar-pasar umum. Bahkan pengusaha kerupuk yang tidak tahu informasi ini juga sulit mendapatkan bahan baku tersebut.
Jika benar kulit yang dipakai industri kerupuk tersebut didapatkan dari impor, apalagi dari negara-negara non-Muslim, akan mendatangkan masalah dan pertanyaan besar, apakah kulit tersebut dijamin kehalalannya? Dari hewan yang menghasilkan kulitnya, kita masih bisa mempertanyakan, apakah hewan tersebut benar-benar sapi ataukah babi? Sebab kulit sapi dan kulit babi ketika diproses menjadi kerupuk akan menghasilkan jenis kerupuk yang mirip. Bagi orang awam akan sulit membedakan antara kerupuk kulit sapi ataukah kulit babi.
Kalaupun seandainya memang benar kulit sapi, kita masih akan bertanya, apakah sapi tersebut disembelih secara halal ataukah tidak? Jika berasal dari negara seperti Korea dan Cina, akan sulit mendapatkan sapi yang disembelih secara Islam.
Kalau demikian, bagaimana status kehalalan kerupuk kulit yang setiap hari disajikan di warung-warung dan kita makan? Memang sulit menentukan status kehalalannya. Secara fisik menggunakan pandangan mata biasa, akan sulit menentukan kehalalan kerupuk kulit tersebut. Apalagi jika sudah disajikan secara rapi dan dikemas di dalam plastik.
Namun sekedar tips kecil, Anda sebaiknya waspada terhadap kerupuk kulit yang warnanya lebih putih, penampakannya lebih halus, lebih empuk dan lubang udaranya kecil-kecil. Lebih dari itu memang sebaiknya kita waspada terhadap makanan yang gurih dan renyah ini. tim lppom mui

Kronologi Edisi Kisah AKU MENCINTAI ARWAHMU DALAM ILUSI DUNIA MAYA

Selasa, 28 Mei 2013

Peran Istri Sebagai Pencari Nafkah Dalam Rumah Tangga. (LB Tesisi)


Nama           : Waizatunnisa
Nim             : 80100212022
Konsentrasi  : Hukum Islam
Judul           :.Peran Istri Sebagai Pencari Nafkah Dalam Rumah Tangga
                      (Telaah Prespektif Hukum Islam)
A. Latar belakang Masalah
Pernikahan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 1 UU.No. 1 tahun 1974).  Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini pula berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan, akan tetapi aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullah}i fawqa aydihim".
Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mi>\s}aqo>n gholi>z}o" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat, Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai Mis}aqon gholi>z}o>, agar janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab /33 : 7 sebagai berikut :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا)  ٧  (
Terjemahnya :
Dan (ingatlah) ketika Kami  mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.

Pernikahan  adalah landasan bangunan keluarga, dan kedudukan keluarga sangatlah penting dalam pandangan al-Qur’an, berdasarkan banyaknya ayat yang berbicara tentang hubungan pernikahan, hubungan antara orang tua dan anak dengan keluarga. Mempunyai anak dan mengasuhnya dengan baik sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan spesies manusia. Ini adalah kemestian biologis yang bersifat fitri dalam diri manusia. Hubungan pernikahan dan hubungan keluarga memberikan fondasi bagi lahirnya generasi-generasi yang akan datang. Ibaratnya, Allah menjadikan laki-laki sebagai sandaran wanita, dan menjadikan wanita sebagai penenang laki-laki. Sebagaimana firman Allah dalam
QS. Ar-rum / 30: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Terjemahnya :
 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Seiring dengan kemajuan manusia modern, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai kebenaran yang hakiki semakin tergeser dari kehidupan perilaku modern. Pada akhirnya sebagian besar wanita (istri) semakin tidak mengerti, memahami, bahkan tidak memperdulikan lagi syari'at yang mestinya menjadi tuntunan dan pegangan dalam interaksi sosialnya. Kecenderungan wanita (istri) lebih kepada mendahulukan tataran interaksi yang mengarah kepada pengingkaran ketentuan dalam syari’at Islam, hal itu di karenakan adanya konsep liberal yang membawa paham emansipasi yang pada gilirannya disadari ataupun tidak telah menggiring wanita (istri) untuk berpartisipasi dalam segala sekmen kehidupan.
Fakta yang terjadi dalam masyarakat kontemporer saat ini, betapa banyak keluarga muslim tidak mencerminkan kehidupan yang Islami. Berbagai sarana kemaksiatan dibiarkan bebas digunakan tanpa kendali, berbagai perhiasan mubazzir dipajang sebagai pelengkap keindahan untuk menonjolkan prestise semu. Sehingga ketentuan-ketentuan, peran serta batas dan hak dalam rumah tangga tidak teraplikasi  sebagaimana yang di gariskan dalam al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Terciptanya rumah tangga Islami yang kondusif sesuai dengan apa yang digariskan dalam al-Qur’an,  yaitu dengan adanya pemahaman bagaimana peran dan fungsi masing-masing suami dan istri dalam rumah tangga. Sebgaimana firman Allah swt. dalam QS. An-nisa/ 4: 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
Terjemahnya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Suami adalah qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga yang memiliki peran untuk memimpin wanita, sebagaimana raja memimpin rakyatnya yaitu dengan perintah, larangan, dan yang semacamnya. Suami wajib memimpin seluruh anggota keluarga menuju kebaikan, dia wajib mendudukkan seluruh anggota keluarga pada posisinya masing-masing. Dengan demikian suami harus memberikan keteladanan yang paripurna dalam keluarga tersebut.
Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa “kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam rumah tangga karena kelebihan intelktual, kemampuan mengelola rumah tangga, kemampuan mencari nafkah, serta membiayai kehidupan rumah tangga”. Sedangkan Ath-Thaba’ Thaba’I menjelaskan bahwa “laki-laki memiliki kelebihan disbanding wanita dalam hal intelektual, yang oleh karena itu lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara kehidupan wanita adalah emosional yang dibangun atas sifat kelembutan dan kehalusan.[1]
Pemberian justifikasi kepada laki-laki  sebagai pemimpin dalam rumah tangga tidaklah berarti lebih  mulia dihadapan Allah, oleh karena letak kemuliaan di hadapan Allah terletak pada  ketaqwaan dan amal shalih mereka masing-masing. Hanya dalam kerangka  rumah tangga sebagai organisasi terkecil dalam masyaraakat diperlukan  adanya pemimpin sebagai suritauladan yang  diberi kewenangan untuk mengatur tatanan kehidupan interaksi dalam rumah tangga dan masyarakat, dan perintah itu bersifat mutlak selama tidak bertentangan dengan norma agama, etika dan moral, hampir dapat dipastikan jika di dalam rumah tangga tidak ada pemimpin  maka rusaklah peraturan dalam keluarga tersebut. Masing-masing akan merasa berhak menjadi pemimpin dan mengatur orang lain. Laki-laki diberikan hak memimpin dalam rumah tangga, selama tidak dalam kemaksiatan. Artinya, kepemimpinan suami dan ketaatan istri serta anak-anak kepadanya tidaklah mutlak. Sebagaiman firman Allah dalam QS. Luqman/31 :15 :
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)
Terjemahnya:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sebagai pemimpin, ia wajib memenuhi kebutuhan pokok dalam rumah tangga, baik kebutuhan material, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal, begitupula kebutuhan spiritual,   untuk itulah suami wajib bekerja mencari nafkah. Kalaupun istri termasuk orang kaya karena mendapatkan harta dari orang tuanya dan cukup menghidupi satu keluarga, hal itu tidak menggugurkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak.
Sedangkan kebutuhan spiritual, antara lain berupa bimbingan kepada kebaikan, perasaan aman dan terlindungi, kasih sayang, kecintaan, dan terjaganya perasaan.
Istri adalah rabbatul bait (pengelola rumah tangga), dia memiliki peran yang sama pentingnya dengan suami dalam hal kebaikan keluarga. Dia pun memiliki posisi qudwah (keteladanan) bagi anggota keluarga yang lain. Menjadi pendamping suami dan pendidik bagi anak-anaknya, dan mampu menjaga dirinya dari fitnah, dengan cara menjaga hijab islami. Dia tidak memamerkan aurat dihadapan umum, mampu menjaga pandangan dan kehormatannya, bersikap hati-hati dalam bicara, bertindak, dan berpenampilan dan dia adalah teladan bagi anak-anak dan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-ahzab/33 :59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)
Terjemahnya :
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Perintah ini ditujukan kepada istri-istri Nabi, putri-putri Nabi, dan istri-istri mukminat. Hal ini menunjukkan bahwa semua wanita tanpa kecuali dituntut melaksanakan kewajiban ini. Demikian pula Allah swt. telah secara tegas melarang perbuatan tabarruj, yaitu dengan sengaja menampakkan bagian-bagian tubuh yang sensual atau menampakkan perhiasan-perhiasan dan dandanan tubuh untuk menarik perhatian umum. Sebgaiaman firman Allah dalam QS. Al-ahzab/ 33 :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (٣٣)
Terjemahnya :
 Dan hendaklah kamu  tetap di rumahmu  dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Istri tidak memiliki kewajiban mencari nafkah, karena ia berada dalam tanggungan suami. Kalaupun istri hendak bekerja diluar rumah, haruslah ada izin dari suami dan jenis pekerjaan serta suasana kerja yang tidak bertentangan dengan syari’at, sehingga akan aman dari fitnah. Terjadi perbedaan pada jumhur ulama, bagimana hukum wanita yang keluar rumah mencari nafkah, ada yang membolehkan selama pekerjaan atau hal tersebut tidak merugikan suami.
Banyak persoalan yang dialami oleh kaum wanita di abad modern ini, oleh karena itu tidaklah muda untuk mengaplikasikan konsep-konsep kaum wanita diterima dimajelis ilmu and be perfect sebagai muslimah. Terutama bagi kaum wanita yang sudah merambah perguruan tinggi kemudian lulus serta dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau mencari nafkah.
Proses modernisasi yang terus berlanjut, disertai dengan kecenderungan materialisme yang sukar dibendung, telah melahirkan kebutuhan dan keinginan-keinginan baru yang mendesak untuk dipenuhi, kecendrungan itu berdampak pada adanya keinginan untuk menambah penghasilan ekonomi dalam keluarga yang pada gilirannya memotifasi para istri yang mempunyai kecerdasan intlektual, kualitas dan kapabilitas dalam bidangnya untuk mencari nafkah di luar rumah, baik sebagai pejabat negara, swasta hingga pada karyawan biasa, realita  ini akan  melahirkan peran ganda  bagi wanita/istri, walaupun dalam rumusan pakar-pakar hukum Islam kontemporer dinyatakan bahwa, perempuan boleh bekerja selama pekrjaan itu membutuhkannya, dan atau dia maupun keluarganya membutuhkannya, dan dia dapat menjaga diri untuk tidak mengganggu atau terganggu, merangsang maupun dirangsang, dengan toleransi tersebut maka  istri harus mampu menjaga keseimbangan  antara kepentingan keluarga dan karir. Sehingga posisi istri bahwa keluarga adalah subordinasi dari karir, dalam artian karir adalah penting, akan tetapi keluarga jauh lebih penting, karenanya jangan sekali-kali melepaskan apa yang telah jelas dimiliki, yakni keluarga, demi mengejar karir panjang yang belum jelas bagaimana bentuk dan kapan di raih.[2]
Di era kekinian dengan berlindung dibalik konsep emansipasi telah memberikan peluang dan toleransi kepada wanita/istri untuk berkarir dan berkarya yang mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dengan pria, dalam banyak jabatan publik tidak sedikit wanita/istri yang menduduki posisi penting dan strategis , misalnya Direktur Utama pada Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah, serta Badan Usaha Milik Swasta,  anggota Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, bahkan dalam jabatan-jabatan tertentu  ditentukan terpenuhinya quota 30 %  harus wanita.
B.  Rumusan Masalah
Kecendrungan inilah yang memotifasi penulis ingin mengkaji lebih jauh bahwa seberapa jauh batasan toleransi agama Islam terhadap toleransi istri yang berkarir atau bekrja di luar rumah guna pemenuhan tambahan kebutuhan ekonomi keluarga, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.         Bagaimana batasan hak dan kewajiban istri dalam mencari nafkah di luar rumah
2.         Bagaimana pandangan negara terhadap istri yang mencari nafkah di luar rumah
3.         Bagaimana pandangan Islam terhadap istri yang mencari nafkah di luar rumah




Daftar Pustaka

Ali al-Allawi, Muhammad. The Great of Womn, Mengapa Wanita Harus Mengalah. Dengan judul asli “Uluwwul Himmah ‘Inda An-Nisa, diterjemahkan oleh El-Hadi Muhammad. Cet III Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2008.
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Wanita, dengan judul asli, Tah}ri>rul-Mar’ah fi> As}rir-Risa>lah,diterjemahkan oleh As’ad Yasin. Cet I; Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Hubeis, Aida Vitayalah S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Cet II; Bogor: IPB Press, 2010.
Mans}u>r, ‘Abdul al-Qa>dir. Fiqih Wanita, dengan judul asli Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah min al-Kita>b wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad zaenal arifin. Cet I; Jakarta: Zaman, 2012.
Qazan, Salah. Menuju Gerakan Muslimah Moderen. Dengan judul asli, Nahwa Fikrin Nisa’i> H}araki> Munaz}im, diterjemahkan oleh Samson Rahman. Cet I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Shiab, M.Quraish. Perempuan. Cet VII; Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Suud, Wiyanto. Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an. Cet I; Jakarta: Niaga Swadaya, 2011.
Takriawan, Cahyadi. Pernak-Pernik Rumah Tangga Islam, Tatanan dan peranannya dalam Kehidupan Masyarakat. Cet VII; Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Prespektif Al-Qur’an. Cet II; Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Wilcox, Lynn. Wanita dalam Al-Qu’an dalam Prespektif Sufi, dengan judul asli, Women and the Holy Quran, A Sufi Prespective, diterjemahkan oleh Dictia, Cet I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.











[1]Cahdi Takriawan, Pernak Pernik Rumah Tangga Islami, Cet VII; Surakarta : Era Edictira Intermedia, 2011, h. 118
[2]M.Quraish Shihab, Perempuan, Cet VII; Tangerang : Lentera Hati, 2011, h. 148