Nama : Waizatunnisa
Nim : 80100212022
Konsentrasi : Hukum Islam
Judul :.Peran Istri Sebagai Pencari Nafkah Dalam Rumah Tangga
(Telaah Prespektif Hukum Islam)
A.
Latar belakang Masalah
Pernikahan
merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah
tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 1
UU.No. 1 tahun 1974). Dalam pandangan
Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang
berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan
masyarakat. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat
sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua
kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang
rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini pula berubahlah kekotoran
menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad
nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan, akan tetapi aqad nikah juga
merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan
diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat
baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullah}i fawqa aydihim".
Begitu
sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mi>\s}aqo>n gholi>z}o" atau
perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil
dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat, Allah
juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai Mis}aqon
gholi>z}o>, agar janganlah pasangan suami istri dengan begitu
mudahnya mengucapkan kata cerai. Sebagaimana
Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab /33 : 7 sebagai berikut :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ
النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا) ٧ (
Terjemahnya :
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam,
dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.
Pernikahan
adalah landasan bangunan keluarga, dan kedudukan keluarga sangatlah
penting dalam pandangan al-Qur’an, berdasarkan banyaknya ayat yang berbicara
tentang hubungan pernikahan, hubungan antara orang tua dan anak dengan keluarga. Mempunyai anak dan mengasuhnya dengan baik
sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan spesies manusia. Ini adalah
kemestian biologis yang bersifat fitri dalam diri manusia. Hubungan pernikahan
dan hubungan keluarga memberikan fondasi bagi lahirnya generasi-generasi yang
akan datang. Ibaratnya, Allah menjadikan laki-laki sebagai sandaran wanita, dan
menjadikan wanita sebagai penenang laki-laki. Sebagaimana firman Allah dalam
QS. Ar-rum / 30: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Terjemahnya :
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Seiring dengan kemajuan
manusia modern, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, nilai-nilai
kebenaran yang
hakiki semakin tergeser dari
kehidupan perilaku modern. Pada akhirnya sebagian besar wanita (istri)
semakin tidak mengerti, memahami, bahkan tidak memperdulikan lagi syari'at yang
mestinya menjadi tuntunan dan pegangan dalam interaksi sosialnya. Kecenderungan
wanita (istri) lebih kepada mendahulukan tataran interaksi yang mengarah kepada
pengingkaran ketentuan dalam syari’at Islam, hal itu di karenakan adanya konsep
liberal yang membawa paham emansipasi yang pada gilirannya disadari ataupun
tidak telah menggiring wanita (istri) untuk berpartisipasi dalam segala sekmen
kehidupan.
Fakta yang terjadi dalam
masyarakat kontemporer saat ini, betapa banyak keluarga muslim tidak mencerminkan
kehidupan yang Islami. Berbagai sarana kemaksiatan dibiarkan bebas digunakan
tanpa kendali, berbagai perhiasan mubazzir dipajang sebagai pelengkap keindahan
untuk menonjolkan prestise semu. Sehingga ketentuan-ketentuan, peran serta
batas dan hak dalam rumah tangga tidak teraplikasi sebagaimana yang di gariskan dalam al-Qur’an
dan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Terciptanya rumah tangga Islami
yang kondusif sesuai dengan apa yang digariskan dalam al-Qur’an, yaitu dengan
adanya pemahaman bagaimana peran dan fungsi masing-masing suami dan istri dalam
rumah tangga. Sebgaimana firman Allah swt. dalam QS. An-nisa/ 4: 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)
Terjemahnya:
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Suami
adalah qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga yang memiliki peran untuk
memimpin wanita, sebagaimana raja memimpin rakyatnya yaitu
dengan perintah, larangan, dan yang semacamnya. Suami wajib memimpin seluruh
anggota keluarga menuju kebaikan, dia wajib mendudukkan seluruh anggota
keluarga pada posisinya masing-masing. Dengan demikian suami harus memberikan
keteladanan yang paripurna dalam keluarga tersebut.
Muhammad
Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa “kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam
rumah tangga karena kelebihan intelktual, kemampuan mengelola rumah tangga,
kemampuan mencari nafkah, serta membiayai kehidupan rumah tangga”. Sedangkan
Ath-Thaba’ Thaba’I menjelaskan bahwa “laki-laki memiliki kelebihan disbanding
wanita dalam hal intelektual, yang oleh karena itu lebih tahan dan tabah
menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara kehidupan wanita adalah emosional
yang dibangun atas sifat kelembutan dan kehalusan.[1]
Pemberian justifikasi kepada
laki-laki sebagai pemimpin dalam
rumah tangga tidaklah berarti lebih mulia dihadapan
Allah, oleh karena letak kemuliaan
di hadapan Allah terletak pada ketaqwaan dan amal shalih mereka
masing-masing. Hanya dalam kerangka rumah tangga sebagai organisasi terkecil dalam masyaraakat
diperlukan adanya pemimpin sebagai suritauladan yang diberi kewenangan untuk mengatur tatanan
kehidupan interaksi dalam rumah tangga dan masyarakat, dan perintah itu
bersifat mutlak selama tidak bertentangan dengan norma agama, etika dan moral, hampir
dapat dipastikan jika di dalam rumah tangga tidak ada pemimpin maka rusaklah peraturan dalam keluarga
tersebut. Masing-masing akan merasa berhak menjadi pemimpin dan mengatur orang
lain. Laki-laki diberikan hak memimpin dalam rumah tangga, selama tidak dalam
kemaksiatan. Artinya, kepemimpinan suami dan ketaatan istri serta anak-anak
kepadanya tidaklah mutlak. Sebagaiman firman Allah dalam QS. Luqman/31 :15 :
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ
مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ (١٥)
Terjemahnya:
Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sebagai
pemimpin, ia
wajib memenuhi kebutuhan pokok dalam rumah tangga, baik kebutuhan material, seperti sandang, pangan, dan tempat
tinggal, begitupula kebutuhan
spiritual, untuk itulah suami wajib
bekerja mencari nafkah. Kalaupun istri termasuk orang kaya karena mendapatkan harta
dari orang tuanya dan cukup menghidupi satu keluarga, hal itu tidak
menggugurkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anak.
Sedangkan kebutuhan spiritual, antara lain
berupa bimbingan kepada kebaikan, perasaan aman dan terlindungi, kasih sayang, kecintaan, dan terjaganya perasaan.
Istri adalah rabbatul bait (pengelola
rumah tangga), dia memiliki peran yang sama pentingnya dengan suami dalam hal
kebaikan keluarga. Dia pun memiliki posisi qudwah (keteladanan) bagi
anggota keluarga yang lain. Menjadi pendamping suami dan pendidik bagi
anak-anaknya, dan mampu menjaga dirinya dari fitnah, dengan cara menjaga hijab
islami. Dia tidak memamerkan aurat dihadapan umum, mampu menjaga pandangan dan
kehormatannya, bersikap hati-hati dalam bicara, bertindak, dan berpenampilan
dan dia adalah teladan bagi anak-anak dan masyarakat. Sebagaimana firman Allah
dalam QS. Al-ahzab/33 :59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (٥٩)
Terjemahnya
:
Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Perintah ini ditujukan kepada istri-istri Nabi, putri-putri
Nabi, dan istri-istri mukminat. Hal ini menunjukkan bahwa semua wanita tanpa
kecuali dituntut melaksanakan kewajiban ini. Demikian pula Allah swt. telah
secara tegas melarang perbuatan tabarruj, yaitu dengan sengaja menampakkan
bagian-bagian tubuh yang sensual atau menampakkan perhiasan-perhiasan dan
dandanan tubuh untuk menarik perhatian umum. Sebgaiaman firman Allah dalam QS.
Al-ahzab/ 33 :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ
وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (٣٣)
Terjemahnya
:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.
Istri
tidak memiliki kewajiban mencari nafkah, karena ia berada dalam tanggungan
suami. Kalaupun istri hendak bekerja diluar rumah, haruslah ada izin dari suami
dan jenis pekerjaan serta suasana kerja yang tidak bertentangan dengan
syari’at, sehingga akan aman dari fitnah. Terjadi perbedaan pada jumhur ulama,
bagimana hukum wanita yang keluar rumah mencari nafkah, ada yang membolehkan
selama pekerjaan atau hal tersebut tidak merugikan suami.
Banyak
persoalan yang dialami oleh kaum wanita di abad
modern ini, oleh karena itu tidaklah muda untuk mengaplikasikan konsep-konsep
kaum wanita diterima dimajelis ilmu and be perfect sebagai muslimah. Terutama
bagi kaum wanita yang sudah merambah perguruan tinggi kemudian lulus serta
dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau mencari nafkah.
Proses
modernisasi yang terus berlanjut, disertai dengan
kecenderungan materialisme yang sukar dibendung, telah melahirkan kebutuhan dan
keinginan-keinginan baru yang mendesak untuk dipenuhi, kecendrungan itu berdampak pada adanya keinginan
untuk menambah penghasilan ekonomi dalam keluarga yang pada gilirannya
memotifasi para istri yang mempunyai kecerdasan intlektual, kualitas dan
kapabilitas dalam bidangnya untuk mencari nafkah di luar rumah, baik sebagai
pejabat negara, swasta hingga pada karyawan biasa, realita ini akan melahirkan peran ganda bagi wanita/istri,
walaupun dalam rumusan pakar-pakar hukum Islam kontemporer dinyatakan bahwa, perempuan
boleh bekerja selama pekrjaan itu membutuhkannya, dan atau dia maupun keluarganya
membutuhkannya, dan dia dapat menjaga diri untuk tidak mengganggu
atau terganggu, merangsang maupun dirangsang, dengan toleransi tersebut maka
istri harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan keluarga dan karir. Sehingga posisi istri bahwa
keluarga adalah subordinasi dari karir, dalam artian karir adalah penting, akan
tetapi keluarga jauh lebih penting, karenanya jangan
sekali-kali melepaskan apa yang telah jelas dimiliki, yakni keluarga, demi
mengejar karir panjang yang belum jelas bagaimana bentuk dan kapan di raih.[2]
Di era kekinian dengan berlindung dibalik konsep
emansipasi telah memberikan peluang dan toleransi kepada wanita/istri untuk
berkarir dan berkarya yang mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dengan
pria, dalam banyak jabatan publik tidak sedikit wanita/istri yang menduduki
posisi penting dan strategis , misalnya Direktur Utama pada Badan Usaha Milik
Negara maupun Daerah, serta Badan Usaha Milik Swasta, anggota Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif,
bahkan dalam jabatan-jabatan tertentu
ditentukan terpenuhinya quota 30 %
harus wanita.
B. Rumusan Masalah
Kecendrungan inilah yang memotifasi penulis ingin
mengkaji lebih jauh bahwa seberapa jauh batasan toleransi agama Islam terhadap
toleransi istri yang berkarir atau bekrja di luar rumah guna pemenuhan tambahan
kebutuhan ekonomi keluarga, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana batasan hak dan kewajiban istri dalam
mencari nafkah di luar rumah
2.
Bagaimana pandangan negara terhadap istri yang
mencari nafkah di luar rumah
3.
Bagaimana pandangan Islam terhadap istri yang
mencari nafkah di luar rumah
Daftar Pustaka
Ali al-Allawi, Muhammad. The
Great of Womn, Mengapa Wanita Harus Mengalah. Dengan judul asli “Uluwwul
Himmah ‘Inda An-Nisa, diterjemahkan oleh El-Hadi Muhammad. Cet III Jakarta
: Pena Pundi Aksara, 2008.
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan
Wanita, dengan judul asli, Tah}ri>rul-Mar’ah fi>
As}rir-Risa>lah,diterjemahkan oleh As’ad Yasin. Cet I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1998.
Hubeis, Aida Vitayalah S. Pemberdayaan
Perempuan dari Masa ke Masa. Cet II; Bogor: IPB Press, 2010.
Mans}u>r, ‘Abdul
al-Qa>dir. Fiqih Wanita, dengan judul asli Fiqh al-Mar’ah
al-Muslimah min al-Kita>b wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad
zaenal arifin. Cet I; Jakarta: Zaman, 2012.
Qazan, Salah. Menuju
Gerakan Muslimah Moderen. Dengan judul asli, Nahwa Fikrin Nisa’i>
H}araki> Munaz}im, diterjemahkan oleh Samson Rahman. Cet I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Shiab,
M.Quraish. Perempuan. Cet VII; Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Suud,
Wiyanto. Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an. Cet I; Jakarta: Niaga Swadaya,
2011.
Takriawan, Cahyadi. Pernak-Pernik
Rumah Tangga Islam, Tatanan dan peranannya dalam Kehidupan Masyarakat. Cet
VII; Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.
Umar, Nasaruddin.
Argumen Kesetaraan Gender Prespektif Al-Qur’an. Cet II; Jakarta: Dian
Rakyat, 2010.
Wilcox, Lynn. Wanita
dalam Al-Qu’an dalam Prespektif Sufi, dengan judul asli, Women and the
Holy Quran, A Sufi Prespective, diterjemahkan oleh Dictia, Cet I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, tapi harap dengan bahasa sopan